riwayat tentang kahlil gibran
Riwayat Hidup Kahlil Gibran
Kahlil Gibran atau Jubran Khalil Jubran adalah salah seorang sastrawan perantauan (Mahjar) beraliran romantik. Lahir 6 Januari 1883 di sebuah desa bernama Besharri, Lebanon1 Utara dan meninggal pada 1931 di usia 48 tahun.
Gibran
adalah salah seorang pengikut Gereja Katholik Maronit. Ia berasal dari
keluarga terpandang —kakeknya termasuk tokoh masyarakat di Besharri—
namun hidup dalam kondisi kemiskinan secara ekonomis.2
Ayahnya bernama Khalil bin Gibran, seorang gembala yang memiliki
kebiasaan memainkan Taoula, merokok narjille (pipa air), mengunjungi
teman-temannya untuk sekedar mengobrol. Kadangkala ia juga minum arak
dan berjalan-jalan di padang luas pegunungan Lebanon.
Sedangkan ibunya, Kamila, adalah anak terakhir dari seorang pendeta Maronit, Estephanos
Rahmi, yang berstatus janda sebelum menikah dengan Khalil. Pernikahan
Kamila dengan suami pertamanya, Hanna Abdel Salam, dikaruniai seorang
putra bernama Peter. Sedangkan dari perkawinannya dengan suami kedua,
yaitu Khalil bin Gibran, Kamila dianugerahi tiga anak. Selain Gibran
diberi nama sama dengan nama ayahnya, Kamila juga melahirkan dua anak
perempuan, yakni Mariana, dan Sultana.3
Akan
tetapi, dalam kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan tidak
menyurutkan gerak Gibran untuk mengenyam bangku sekolah. Mula-mula ia
belajar banyak hal, terutama bahasa, musik, dan sedikit mengenal tentang
seni lukis dari ibunya yang polyglot (menguasai bahasa Arab,
Perancis, dan Inggris). Tatkala usianya masih terlalu kecil, si ibu
memperkenalkan sebuah kisah dari negeri Arab yang cukup tersohor, Kisah Seribu Satu Malam, juga Tembang Perburuan (Hunting Song) karya Abu Nawas. Ini artinya, sejak kecil Gibran bergelut dengan pelajaran sastra.
Didasari
keinginan kuat untuk mengurangi beban kemiskinan keluarga, pada tahun
1894, Peter, saudara tiri Gibran yang saat itu berusia 18 tahun
mengutarakan keinginan untuk berimigrasi ke Amerika. Semula ibunya
menolak rencana itu. Namun akhirnya sang ibu menyetujui dengan syarat
keluarganya dapat berangkat secara bersama-sama. Hanya saja sang ayah
menolak dengan alasan memelihara sedikit harta yang mereka miliki.
Tetapi penolakan sang ayah itu tidak mengurangi niat Kamila, Gibran dan
kedua saudaranya dengan dimotori Peter untuk terus berangkat ke Amerika.
Langkah
tersebut memang lazim dilakukan oleh para penduduk Lebanon. Sebab, ada
tiga alasan penting yang menjadi faktor pendorongnya, yaitu:
Pertama, keinginan untuk melepaskan diri dari tindakan represif Turki Usmani.
Kedua, untuk mencari modal atau memperbaiki perekonomian keluarga.
Ketiga, untuk kedua tujuan tersebut sekaligus.4
Setelah
menginjakkan kaki di Amerika, mereka menuju Boston di mana banyak
penduduk asli Besharri dan Syiria membentuk koloni di China-town. Sang
ibu, Peter, dan dua saudara perempuan Gibran bekerja mencari uang. Dia
sendiri terpaksa masuk sekolah untuk memperoleh pendidikan lebih. Selama
dua tahun bersekolah itulah, tampak kecerdasan dan kecemerlangan otak
Gibran memukau gurunya. Ia selalu memperoleh nilai tertinggi di antara
teman-teman “asing”nya di sana. Oleh sang guru, Gibran kemudian
disarankan untuk menyingkat namanya menjadi “Kahlil Gibran” dari nama
semula “Jubran Khalil Jubran”.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Amerika, Gibran bermaksud kembali
ke Lebanon guna mendalami bahasa aslinya (bahasa Arab) dan mengenal
banyak karya pemikir dan sastrawan Arab terdahulu. Setelah keinginannya
dikabulkan oleh ibunya, dalam rentang waktu antara tahun 1896–1901,
Gibran menempuh pendidikan di sebuah sekolah terkemuka, Madrasah Al-Hikmah, yang terletak di Beirut sekarang.
Di
madrasah itu, Gibran belajar Hukum Internasional, ketabiban, musik dan
sejarah Agama. Selama periode 1898 dia menjadi penyunting pada majalah
sastra dan filsafat, Al Hakekat. Dengan bekal kemampuan Gibran
dalam seni lukis dan didasari kekagumannya pada para pemikir besar Arab
yang diketahuinya dalam kelas, pada 1900 Gibran membuat sketsa wajah
penyair Islam periode awal seperti Abu Nawas, al-Mutanabbi, al-Farid dan
Khansa (penyair besar perempuan dari Arab), juga wajah para filosof
seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina.
Selama
itu pula ada sebuah kenangan indah yang mempengaruhi jiwanya secara
mendalam, yaitu kisah cinta pertamanya dengan Hala Daher, seorang putri
dari sebuah keluarga aistokrat di Lebanon. Oleh Gibran kisah itu lalu
diabadikan dalam novelnya, The Broken Wings (1912).5
Tetapi
ketidaksetaran status sosial telah menjadi tembok yang membatasi cinta
keduanya. Sejak saat itu, Kahlil berubah secara drastis. Hati dan
cintanya yang terluka telah menjadikan dirinya sebagai seseorang yang
membenci seluruh kehidupan tradisi perkawinan ketimuran yang diatur
dalam “kasta-kasta” sosial.
Menginjak usianya ke-18 tahun, Gibran telah menyelesaikan studinya di Madrasah al-Hikmah dengan
hasil sangat memuaskan. Namun, karena didorong keinginan memperluas
ilmu dan wawasan serta mendalami seni lukis, dia memutuskan untuk
berangkat ke Paris. Dalam perjalanannya itu, Gibran menyempatkan diri
singgah di Yunani, Italia, dan Spanyol pada 1901.
Di Paris, Kahlil Gibran tinggal selama dua tahun. di kota inilah dia menulis buku Spirits Rebellious,
sebuah buku yang terkenal dengan kritikannya terhadap keadaan sosial,
para pejabat tinggi, pengurus keagamaan, juga cintanya yang kandas.
Karena bukunya itu, Gibran sempat dikucilkan pihak Gereja Maronit dan
diasingkan oleh pemerintah Turki di Lebanon. Keduanya juga membakar
karyanya di berbagai tempat di Beirut.
Kemalangan
Gibran tidak cukup sampai di sini. Tahun 1903 dia menerima surat dari
saudaranya, Peter, yang memintanya untuk segera kembali ke Boston sebab
adiknya, Sultana, meninggal akibat terserang penyakit Tuber Culosa (TBC) dan ibunya menderita sakit berat. Pada tahun yang sama di bulan Maret, Peter juga meninggal akibat wabah serupa.
Kepedihan
Gibran serasa bertumpuk setelah ibunya yang tercinta turut menyusul
kedua saudaranya menghadap Yang Kuasa, tepat tiga bulan setelah kematian
Peter. Kehilangan sang ibu yang dicintainya membuat Gibran amat
terpukul dan patah arang. Baginya, kini hanya tinggal Mariana, adik
sekaligus kawan yang setia menemani di negeri orang. Secara historis,
tampak bahwa realitas kemalangan yang dialaminya di Boston telah
mempengaruhi seluruh karyanya di kemudian hari.
Ia
mulai aktif menulis termasuk menulis beberapa artikel yang tersebar di
berbagai media massa. Tulisan-tulisannya mampu mencengangkan pengagum
sastra dunia, termasuk kritikus sastra Arab terkemuka, May Zaidah.
Bermula dari polemik di media massa sejak 1912, ternyata sentuhan cinta
keduanya mampu merekatkan jarak Amerika-Arab meski sampai akhir
hayatnya, mereka tidak pernah saling bertemu.6
No comments:
Post a Comment